Kamis, 14 Mei 2015

On 23.05 by Unknown in    No comments
Mentari senja mulai menyelimuti separuh bagian bumi ini. Aku menatap langit senja dari balik jendela kamarku. Warna langitnya oren, itulah yang kupikirkan setiap hari ketika senja. Tapi, seketika langit berubah warna. Warna yang aneh, aku tidak dapat mengenali warna itu. Kumohon, jangan berganti warna, aku tidak suka warna itu, karena aku tidak tahu apa nama warna itu. Oren? Itu bukan oren…, lalu apa? Kataku dalam hati yang bergetar.
“Mika,” sahut seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke arahnya, ternyata dia mama.
Aku melirik warna baju yang sedang ia pakai. Lagi-lagi, mama memakai warna baju yang tidak kukenali, pikirku.
“Warna baju mama namanya apa?” tanyaku polos.
“Biru, sayang,” jawab mama lembut. Lalu, dia menghampiriku. Menatap sedih ke arahku, membuatku jadi terheran-heran.
“Ada apa, ma?” ucapku heran.
“Sampai kapan kamu tidak dapat mengenal warna selain oren, nak? Mama mengerti, kamu buta warna. Mama juga tidak memaksakan kamu mau menghapal warna-warna dalam dunia ini atau tidak. Tapi, mama ingin sekali melihat kamu mengenal warna biru, warna langit yang sebenarnya,” ujar mama sambil menangis. Aku terdiam.
Ya, memang. Aku Mika Keisya, si anak berumur 16 tahun yang buta warna, kecuali warna oren. Sejak kecil, bahkan dari lahir, aku sudah mengidap kelainan mata yang membuatku menjadi buta pada warna.
Semua teman-temanku, tidak akan pernah sudi berteman dengan Si Anak Yang Buta Warna (julukanku). Tidak apa-apa mereka malakukan semua itu padaku. Karena yang kuyakini adalah Tuhan. Aku percaya pada Tuhan, jika suatu saat nanti, aku akan bertemu seorang sahabat yang setia padaku hingga maut memisahkan.
Mama pergi keluar kamar sambil mengelap air matanya menggunakan jari-jari tangannya. Sungguh aku tak tega melihatnya.
Mama, maafkan aku. Tapi… aku, tidak akan pernah bisa menjadi apa yang kau inginkan.
Esok harinya. Aku kabur dari rumah, tanpa diketahui kedua orangtuaku. Aku tahu, jalan yang kupilih ini salah. Tapi, aku ingin mencari kebebasan meski sesaat. Aku pergi tanpa membawa apa-apa. Baju dan celana yang kukenakan berwarna oren.
Aku berlari menuju tempat tujuanku, yaitu bukit yang berada di pinggir danau. Hanya aku yang mengetahui tempat itu, oleh karenanya kujadiakan tempat itu sebagai tempat rahasiaku.
Jarak bukit itu dari rumahku lumayan jauh. Tapi, karena tidak ada tempat lain yang nyaman untukku, apa boleh buat.
Sekitar lima belas menit aku berlari ke arah bukit ini. Aku duduk tepat di tengah-tengah bukit, sambil menatap langit. Warna langitnya aneh, pikirku. Aku terus saja menatap langit, sambil terus mencoba mengingat nama warna langit itu. Tapi, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Aku pun berbaring di atas perumputan bukit itu.
Aku menutup mataku perlahan-lahan. Dalam benakku, aku khawatir pada mama dan papa yang akan mencariku ke sana-sini. Tolonglah ma, pa, mengerti perasaanku ini.
Aku membuka mataku yang terasa berat. Aku terkejut melihat sesosok wajah sedang menatapku.
“Uwoahhh!!” jeritku yang kemudian mencoba untuk duduk.
“Hahaha… maaf, aku membuatmu terkejut,” kata sosok itu disertai tawanya. Dari penampilannya, aku sudah dapat mengetahui dia adalah seorang laki-laki yang sebaya denganku. Sebetulnya, aku terkejut bukan karena kehadirannya. Tapi, kenapa dia bisa mengetahui tempat ini?!
“Si… siapa kau?” kataku.
“Aku Lheceko Seijyo. Kau boleh memanggilku Seiyyo atau apalah,” jawabnya. “Namamu?” lanjutnya bertanya.
“Aku Mika Keisya.”
“Boleh kupanggil Mika?”
“Tentu. Apa aku boleh memanggilmu Seiyyo?” jawabku bertanya.
“Ya, ya. Aku akan senang jika dipanggil Seiyyo,” ucapnya gembira.
“Kau tahu dari mana tempat ini?” tanyaku. Dia tersenyum.
“Aku tahu tempat ini sebelum kau mengetahuinya,” jawabnya. Apa?! Dia sudah tahunya lebih dulu dariku?! Tapi kenapa setiap aku datang kesini tidak ada siapa-siapa? Kataku dalam hati.
“Aku juga tahu, setiap senja kau datang kesini. Karena aku melihatmu. Tapi, tidak berani mendekatimu,” tambahnya.
Jadi, selama ini dia memperhatikanku?
“Oh, begitu…,” ucapku.
Aku menatap langit, ketika itu aku baru menyadari bahwa hari sudah senja. Warna oren mengelilingi seluruh mataku dan juga jiwaku. Inilah saat-saat yang paling berharga dalam hidup.
Tiba-tiba, tatapan mataku tertuju pada warna baju yang sedang dikenakan Seiyyo. Warna bajunya sama dengan warna baju yang dipakai mama kemarin. Aku mencoba mengingat nama warna itu. Tapi, selalu saja tidak pernah dapat kuingat, itu pasti karena aku buta warna.
“Warna baju kamu namanya apa?” pertanyaan yang hampir setiap hari kulontarkan. Dia tampak terkejut mendengar pertanyaanku.
“Kamu… tidak tahu warna biru?” jawabnya bertanya. Aku mengangguk pelan.
Sesaat suasana menjadi sunyi.
“Aaa… begitu,” ucapnya memecahkan suasana sunyi. Aku hanya terdiam tanpa berbicara apa-apa.
“Besok, saat senja kau datang ke sini lagi, ya!” perintahnya.
“Untuk apa?”
“Pokoknya datang saja! Sebaiknya sekarang kau pulang, khawatir orangtuamu mencemaskanmu!” seru Seiyyo yang kemudian berlalu.
Sempat kuberpikir untuk tidak pulang dan tetap di sini. Tapi, benar apa yang dikatakan Seiyyo. Nanti, mama dan papa khawatir mencemaskanku. Aku harus pulang!
Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah. Sesekali aku mendongak ke atas, untuk memastikan apakah warna oren di langit hilang, dan berubah warna. Kulihat dari kejauhan, mama dan papa menghampiriku dengan wajah cemas.
“Mika, dari mana saja kamu? Kamu tidak sekolah?” tanya mama dengan nada cemas, lalu memelukku. Aku mengangguk penuh penyesalan karena sudah membuat kedua orangtuaku cemas.
“Mika, lain kali kamu jangan seperti ini. Kamu sudah membuat mama-papamu cemas,” nasihat papa. Aku mengangguk lagi. Setelah itu, kami bertiga masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan manis maupun pahit.
Besoknya. Tepatnya pada saat senja ataupun sore hari. Aku pamit kepada kedua orangtuaku, dan berjanji akan pulang sebelum malam tiba. Aku tidak memberi tahu pada mereka, kemana aku akan pergi. Tapi, mereka percaya, aku pasti akan kembali.
“Mika!” seru Seiyyo dari atas bukit. Aku segera naik ke bukit, lalu menghampirinya.
“Apa yang ingin kau bicarakan? Cepatlah, aku tidak boleh lama-lama,” ucapku yang kemudian aku duduk di sebelahnya.
“Kamu… buta warna, ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut dan merasa sedikit dihina setelah mendengar ucapannya.
“Kamu ingin menghinaku, ya?!” teriakku kesal.
“Eh, bu… bukan begitu maksudku. Maaf kalau kata-kataku barusan menyakiti hatimu,” ujarnya meminta maaf. Aku menghela napas panjang, entah kenapa.
“Begini, dalam dunia ini, penuh dengan banyak warna. Salah satunya warna biru di langit yang sungguh mempesona. Aku suka warna itu,” ucapnya sambil menatap ke atas langit. “Karena warna biru, adalah warna utama bumi ini,” tambahnya.
“Wa… warna macam apa itu?! Menurutku, itu warna yang aneh,” protesku. Seiyyo menoleh ke arahku dengan senyumannya. Aku membalasnya dengan ikut menatapnya.
“Lihatlah baik-baik, pada saat pagi hari. Langit berwarna biru dihiasi warna putih oleh awan. Udara segar menambah rasa kedamaian dalam dirimu. Itulah warna langit yang sebenarnya,” ujarnya dengan wajah yang penuh keseriusan dan bukan main-main.
Tampaknya, dia benar-benar ingin memperkenalkanku pada warna langit yang sebenarnya.
Ya, sepertinya selama ini aku telah dibohongi oleh senja. Tapi, senja-lah yang telah merubah hidupku. Disaat senja, aku mengenal satu warna untuk pertama kalinya dalam hidupku, yaitu oren. Disaat senja, untuk pertama kalinya aku bertemu seseorang yang baik padaku. Lalu, disaat senja…
Mukaku memerah seketika. Aku senang dengan perkataannya barusan. Ini pertama kalinya aku merasa sedikit nyaman di samping seseorang selain mama dan papa. Aku…
Inilah jawaban akhirnya. Disaat senja, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan… orang yang kusukai.
“Lihatlah baik-baik, pada saat pagi hari. Langit berwarna biru dihiasi warna putih oleh awan. Udara segar menambah rasa kedamaian dalam dirimu. Itulah warna langit yang sebenarnya.”
Kata-katanya kemarin, masih berdengung dalam benakku. Sambil mendengarkan lagu menggunakan earphone, aku memandang langit pagi dari balkon rumahku. Aku dapat merasakan udara segar menusuk tulang rusukku. Benar apa kata Seiyyo. Jadi, inikah yang dimaksud dengan pagi hari?
Aku menatap warna langit. Aku tatap dengan tatapan yang sungguh-sungguh. Aku mulai merasakan hatiku bergejolak.
“Mika,” sahut mama. Aku menoleh ke arahnya, kuubah posisi arah mataku. Ya, saat ini aku sedang melihat warna baju yang ia kenakan. Warna yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Itu warna…?
“Biru?” ucapku agak ragu, tapi yakin itu nama warnanya. Mama tersenyum mendengar ucapanku. Lalu, dia memelukku.
“Astaga, Mika. Mama tidak percaya. Kamu… mengenal warna biru?” tanya mama bangga. Aku menggangguk senang. Ternyata, benar, itu warna biru.
Mama mengecup dahiku dengan lembut. Lalu, dia tersenyum bangga padaku. Aku bahagia, karena dapat melihat mama bahagia.
Hal yang menurutku tidak mungkin, kini menjadi mungkin. Hal yang awalnya susah, kini menjadi mudah. Dan ini semua berkat dorongan dari orang-orang yang kita sayangi. Jangan menyerah adalah kata kuncinya.
Waktu terus berjalan. Senja pun tiba. Aku ingin memberi tahu tentang kejadian hari ini pada Seiyyo. Tapi, begitu aku sampai di bukit. Tidak ada siapa-siapa. Aku pun hanya bisa tersenyum sambil membayangkan dia ada di hadapanku.
“Seiyyo, terima kasih. Berkat kau, mama dan papa bahagia karenaku. Dan itu semua karenamu. Seiyyo, asal kau tahu, aku…”
“Mika?” sahut seseorang yang membuat perkataanku terhenti. Aku menoleh ke sumber suara, ternyata dia Seiyyo!
“Seiyyo!” seruku senang, lalu menghampirinya. Seiyyo tampak heran melihat wajah gembiraku. Namun, dia menjadi senang ketika melihatku gembira. Aku pun begitu.
“Seiyyo, dengar, deh. Sekarang, aku sudah mengenal warna biru!” ucapku senang.
“Benarkah?” jawabnya tidak percaya, tapi dengan nada senang. Aku mengangguk pasti. Dia tersenyum, lalu menarik tanganku.
“Di dunia ini, memang terkadang hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Asal kita mau berusaha. Semua pasti menjadi mungkin,” ujar Seiyyo. Kata-katanya menyentuh hatiku. Ingin kukatakan perasaanku yang sebenarnya. Tapi, tidak untuk saat ini. Jika kami memang jodoh. Dia pasti akan terus berada ada di sisiku.
Tuhan, terima kasih, kau telah memberikanku yang terbaik dalam hidupku. Senja kaulah sahabatku, Seiyyo kaulah pahlawanku sekaligus cinta pertamaku.
Aku menggenggam erat tangan Seiyyo. Memandang langit senja dengan pemikiran yang sama. Menuju masa depan yang indah, sebentar lagi akan datang!
END
Cerpen Karangan: Aulah Fitriyah

0 komentar:

Posting Komentar